A.
Kilas IPNU: Menapak Jejak, Membentuk Watak
Menelusuri
jejak langkah keberadaan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (selanjutya disingkat
IPNU), merupakan upaya yang harus selalu dilakukan. Ikhtiar ini adalah sebagai
bentuk pencarian jati diri yang perlu dikontekstualisasikan dengan perkembangan
zaman yang terus berkembang. Oleh siapa, untuk apa, kenapa dan bagaimana IPNU
didirikan, merupakan hasil nyata dari jihad intelektual para pelajar NU dari
berbagai daerah yang harus selalu terpatri dibenak kader-kader IPNU. Karena
berangkat dari kesadaran inilah, secara lebih mudah militansi seorang kader
bisa terbentuk.
|
Pelantikan 2015 |
Layaknya
seekor harimau, kalau ia tak sadar akan jati dirinya, maka yang ia lakukan
hanya menggeliat-geliat bagai cacing yang tak berdaya. Berbeda dengan seekor
singa yang tahu betul bahwa jati dirinya adalah seekor raja hutan, maka ia akan
selalu optimis, garang dan meraung dengan gagah sebagaimana jatidirinya yang
asli dan fitri. Dari analogi semacam inilah, kenapa sejarah menjadi sangat
penting untuk diangkat kembali. Agar pada kader lebih mengetahui dan menyadari
siapakah dan apakah IPNU sebenarnya.
Selanjutnya,
pasca momentum proklamasi kemerdekaan yang diikrarkan oleh Ir. Soekarno tahun
1945, berhasil menjadi pelecut tersendiri bagi kebangkitan semua elemen bangsa
untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Kebangkitan ini, juga
dirasakan secara merata oleh umat islam
umumnya, dan Nahdlatul Ulama (NU) pada khusunya. Tak terkecuali gerakan pemuda
islam juga turut larut dalam semangat kemerdekaan RI, upayanya dalam membentuk
sebuah organisasi terlihat kian menggeliat pada era 1950-an. Dalam konteks
pelajar NU, berhasil terekam berdirinya organisasi-organisasi keterpelajaran di
berbagai daerah yang tersebar di Indonesia, khusunya di pulau Jawa.
Pada
periode ini, muncul organisasi pelajar NU seperti
Persatuan Pelajar Nahdlatul
Oelama (PERPENO) yang lahir tanggal 13 Juni 1953 di Kediri,
Ikatan Siswa
Mubalighin Nadlatul Oelama (IKSIMO) yang lahir pada kisaran tahun 1952 di
Semarang, adapula Ikatan Pelajar Islam Nahdlatul Oelama (IPINO) yang lahir
tahun 1953 di Bangil,
dan di Surakarta pada 27 Desember 1953 lahir Ikatan
Pelajar Nahdlatul Oelama (IPNO).
Sementara di Malang,tercatat pernah lahir
Persatoean Moerid NO (PAMNO) pada tahun 1941, di Madura terlahir Ijtima
uth-tholabiah (Persatuan Siswa) pada tahun 1945 dan setahun kemudian di Sumbawa
terlahir Ijtima uth-tholabah (ITNO).
Secara
ringkas, organisasi-organisasi diatas masih bersifat kedaerahan dan berjalan
dengan sendiri-sendiri. Kegiatannyapun masih bersifat rutinitas seperti
tahlilan,yasinan, barzanjian/ diba‘an dan semacamnya. Diantara mereka tidak
saling terkoordinsasi dengan baik, sehingga berakibat tidak saling kenalnya
antara satu dengan yang lain, walaupun secara ideologis berada dalam satu mainstream
yang sama, yaitu NU.
Di
samping organisasi-organisasi di atas, lahir pula organisasi di luar komunitas
NU yang tumbuh subur dikalangan pelajar dan mahasiswa, organisasi tersebut
antara lain; Perkumpulan Pemuda Kristen Indonesia (PPKI), Gerakan Mahasiswa
Nasionalis Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa
Sosialis (GMS) dan Pelajar Islam Indonesia (PII).
Dapat
dilihat dari kondisi pergerakan di atas, bahwa dinamika organisasi tanah air
mempunyai dua pola yang berbeda, yaitu organisasi keterpelajaran yang bersifat
kedaerahan seperti yang direpresentasikan oleh pelajar NU di daerah-daerah,
serta pola pergerakan organisasi yang sudah mapan hingga taraf nasional.
Organisasi yang disebut diakhir ini malahan sudah mendapat legitimasi melalui
Kongres Al-Islam pada tahun 1949, dengan hasil bahwa PII dinobatkan sebagai
satu-satunya organisasi bagi pelajar muslim, serta eksistensi HMI yang menjadi
satu-satunya organisasi mahasiswa islam yang diakui.
Kenyataan
inilah yang berkonsekuensi berkumpulnya para pelajar-pelajar islam yang
mempunyai beragam perspektif, yaitu dari kalangan islam modernis dan kalangan
islam tradisionalis yang pada tahun 1940 s/d 1960-an sering terjadi
friki-friksi tajam. Misalnya saja, sosok Tolchah Mansoer yang menjadi pioner
pendirian IPNU secara nasional, merupakan jebolan dari PII dan HMI. Bahkan di
Yogjakarta, ia berhasil menjabat sebagai Ketua Departemen Penerangan Pengurus
Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) dan pada tahun 1952 dipercaya sebagai
Ketua I Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Yogjakarta.
Bahkan ia pernah
diamanhkan menjadi wakil ketua Panitia Kongres Persatuan Perhimpunan Mahasiswa
Indonsia. Perlu diketahui bagi
kader-kader IPNU saat itu, termasuk Tolchah Mandoer berafiliasi dalam PII dan
HMI lebih disebabkan karena pada saat itu hanya kedua organisasi inilah yang
merepresentasikan pelajar dan mahasiswa islam yang bersifat nasional. Sementara
itu yang telah diketahui, organisasi-organisasi NU kala itu masih bersifat lokal.
Lebih
jauh lagi, masuknya Tolchah Mansoer ke dalam PII dan HMI dapat dilihat sebagai
kecenderungan umum pelajar dari kalangan islam tradisionalis saat itu. Karena,
selama pasca revolusi kemerdekaan, kalangan pelajar dari keluarga islam
tradisionalis tidak memiliki pilihan lain kecuali bergabung dengan PII dan HMI
jika ingin berorganisasi.
Alasannya bukan hanya karena afiliasi NU dan Masyumi
hingga tahun 1952 dan keputusan Kongres Al-Islam pada tahun 1949 seperti yang
sudah dijelaskan diatas, namun lebih penting lagi karena pelajar yang berlatar
belakang pada kalangan tradisionalis yang masuk ke sekolah-sekolah modern
relatif sedikit. Sehingga, para mahasiswa tradisionalis yang mulai banyak masuk
di universitas pada era 1950-an juga bergabung dengan HMI sebelum mendirikan
organisasi pelajar tradisionalisnya sendiri (baca: IPNU). Mahasiswa-mahasiswa
tersebut antara lain, Tolchah Mansoer (UGM), Ismail Makky (IAIN Yogjakarta),
Mahbub Djunaidi (Universitas Indonesia).
Namun,
keikutsertaan kalangan pelajar nahdliyin kedalam dua organisasi tersebut
bukan tanpa masalah. Masalahnya justeru terkait kontestasi politik para ―orang
tua‖nya yang berafiliasi dengan NU dan Masyumi. Karena
kala itu, konstestasi antar kalangan modernis
dan tradisonalis sudah merambah sampai kalangan pelajarnya.
Bahkan
Ismail Makky mengakui hal itu, bahwa kegelisahannya muncul dikarenakan
organisasi pelajar yang ada kurang mengakomodir keberadaan pelajar-pelajar dari
kalangan pesantren, wal hasil kalangan pesantren tidak ada yang mengurus.
Sehingga, kondisi inilah yang membuat Tolchah dan Ismail terinspirasi untuk
membuat sebuah wadah organisasi tersendiri bagi kalangan islam tradisionalis
yang terangkum dalam tiga kelompok sasaran, yakni sekolah, pesantren dan
universitas.
1.
Munculnya Tunas NU; Sebuah Harapan Baru
Setelah
melihat dinamika pergerakan pelajar diatas, maka sudah barang tentu bagi
kalangan tradisionalis yang lebih banyak direpresentasikan oleh kalangan NU
memperoleh dampak yang kurang mengenakkan. Hal tersebut dikarenakan
termarginalkannya kalangan pesantren dalam percaturan organisasi pelajar pada
skala nasiional. Sehingga, kegelisahan untuk membentuk sebuah wadah organisasi
tersendiri bagi anak muda nahdliyin-pun kian dirasa untuk segera
direalisasikan.
Sehingga,
beberapa aktifis mahasiswa di Yogjakarta, Solo dan semarang bertekad untuk
membetuk sebuah organisasi pelajar NU yang berskala nasional. Mereka lazim
mengkonsolidasikan gagasannya tersebut dengan berdiskusi guna mendalami hal-hal
terkait persiapan pendirian organisasi pelajar di kalangan tradisionalis itu.
Para mahasiswa yang concern dalam memperhatikan nasib generasi muda NU
ke depan ini, sering berkumpul di rumah
kos-kosan di daerah Bumijo, Yogjakarta (kawasan sebelah barat perempatan Tugu)
guna merumuskan dengan matang gerakan kaum muda NU tersebut.
Desakan
akan kebutuhan terhadap wadah pembinaan pelajar NU inipun, disambut dengan
momentum diselenggarakannnya Konferensi LP. Ma‘arif di Semarang pada bulan
Februari 1954. Sehingga, gagasan progresif kaum muda NU tersebut dijadikan
sebagai salah satu agenda pembahasan dalam pelaksanaan Konferensi. Secara
ringkas, akhirnya dalam Konferensi LP Ma‘arif kala itu, berhasil mengesahkan
berdirinya organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) yang saat itu bertepatan
pada tanggal 24 Februari 1954/ 20 Jumadil Akhir 1373 H. walhasil, tanggal
inilah yang dinobatkan sebagai hari lahirnya organisasi pelajar NU pada skala
nasional.
Dalam
perhelatan tersebut, sosok Tolchah Mansoer dipercaya menjadi Ketua Umum IPNU
meskipun saat itu ia berhalangan hadir. Penunjukkan Tolchah ini dirasa tepat
karena figurnya merepresentasikan secara ideal dalam mengintegrasikan pola
pendidikan umum dan pesantren. Seperti yang diketahui, Tolchah merupakan
sedikit dari kalangan islam tradisionalis yang mengenyam pendidikan umum, namun
juga mampu memanifestasikan pemikirannya yang berakar dari logika pesantren.
Selanjutnya,
pasca deklarasi pendirian IPNU melalui muktamar LP Ma‘arif, tepatnya dua bulan
kemudian pada tanggal 30 April s/d 1 Mei 1954, IPNU menyelenggaran Konferensi ―Segi
Lima‖. Kenapa Konferensi ini disebut segi lima? karena pada
saat itu dihadiri oleh kalangan assabiqunal awwalun IPNU yang terdiri dari Jombang, Yogjakarta, Solo,Semarang dan
Kediri.
Menurut
Tolchah, Konferensi segi lima ini merupakan konsolidasi pertama setelah tak
lama IPNU secara resmi didirikan. Yang menarik dalam konferensi ini, sekaligus
sebagai sorotoan kader-kader IPNU masa kini, bahwa pertemuan ini berhasil
melahirkan keputusan yang bisa dijadikan sebagai acuan gerakan dalam
mengaktualisasikan program kerja pada berbagai macam skala (baik ranting ,
komisariat, cabang sampai pusat).
Keputusan
itu dapat disebutkan antara lain;
1) menjadikan Ahlusunnah wal jamaah sebagai
asas organisasi,
2) tujuan organisasi yakni turut andil dalam mengemban risalah
islamiyah,
3) mendorong kualitas pendidikan agar lebih baik dan merata,
serta
4) mengkonsolidir kalangan pelajar.
Visi yang dibangun pada era perta
ini, secara lebih universal dijadikan sebagai media dalam menghimpun seluruh
potensi kader di seluruh Indonesia yang terhimpun dalam tiga kelompok sasaran,
yakni pelajar, santri dan mahasiswa.
2.
Menyemai Gagasan, Merangkai Momentum
Perjalanan
IPNU yang sudah mencapai setengah abad lebih, merupakan prestasi tersendiri
yang harus selalu disyukuri dan apresiasi. Capaian tersebut, tak lain karena
didukung oleh komitmen bersama semua elemen pelajar dari kalangan NU di
Indonesia yang masih menganggap bahwa organisasi ini merupakan kebutuhan
mendasar yang wajib untuk dipertahankan eksistensinya.
Usianya
yang sudah mencapai enam dasawarsa lebih pada tahun 2018 inipun, tentunya
diiringi dengan peluh perjuangan yang
tidak mudah. Berbagai macam hambatan dan ancaman merupakan rintangan yang mampu
dieliminir sebagai bentuk perjuangan bersama dalam ranga turut mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Rekam
jejak 64 tahun perjalanan IPNU sudah barang tentu telah berhasil menancapkan
gagasan brilian yang menjelma menjadi prasasti monumental yang patut untuk
diteladani. Tak bisa dipungkiri, beberapa diantaranya harus diiringi dengan ―perseteruan
pemikiran‖ antar kader NU yang tidak jarang menimbulkan
ketegangan. Namun realitas demikian bukanlah hal yang negatif, malah hal itu
menjadi sumbangsih khazanah pergulatan intelektual yang harus tetap diasah
dalam perjalanan sejarah guna memperkokoh eksistensi IPNU dalam mengaruhi ombak
peradaban.
Percikan
gagasan yang telah menjelma menjadi prestasi sejarah tersebut, berhasil direkam
dalam beberapa point krusial yang antara lain dapat digambarkan sebagai
berikut:
1.
Tepat pada tanggal 24 Februari 1954/ 20 Jumadil Akhir 1373 dalam Konferensi
Besar LP Maarif, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) secara resmi didirikan.
2.
Dilaksanakannya Konferensi Segi Lima pada tanggal 30 April s/d 1 Mei 1954 meliputi
daerah Yogjakarta, Jombang, Kediri, Solo dan Semarang yang menghasilkan
kebijakan antara lain; asas organisasi adalah ahlu sunnah wal jama’ah, wilayah
garapan khusus putra, tujuan organisasi adalah mnegokohkan ajaran islam
sekaligus risalah diniyah, meninggikan dan
menyempurnakan pendidikan islam, serta menghimpun seluruh potensi pelajar di
seluruh Indonesia. Serta menetapkan Yogjakarta sebagai kantor pusat Organisasi
IPNU.
3.
Pada Muktamar NU ke-20 di Surabaya pada tanggal 9-14 September 1954, IPNU
secara resmi diakui sebagai satu-satunya organisasi pelajar putra yang berada
dalam naungan NU. Dalam muktamar tersebut, Tolchah Mansoer menyampaikan gagasan
pentingnya organisasi pelajar di kalangan NU pada sidang muktamirin pada
tanggal 14 September. Selain Tolchah, kader-kader IPNU yang ikut dalam sidang
tersebut antara lain M.Sufyan Cholil, M. Najib Abdulwahab, Abdul Ghani Farida
dan M. Asro.
4.
Pada tanggal 28 Februari s/d 5 maret 1955 dilaksanakan Muktamar (kongres) IPNU
pertama di Malang, yang dihadiri oleh 30 cabang yang sebagian besar dari Jawa
Timur, serta beberapa undangan dan beberapa pesantren simpatisan. Panitia
Muktamar berkantor di jalan Kidul Dalam No 49, telp; 898 Malang. Perhelatan
tersebut digelar di Pendopo Kabupaten Malang dan semakin meriah karena di
hadiri langsung oleh Presiden Soekarno, wakil perdana Menteri (Zainul Arifin),
Menteri Agama RI (KH Masykur) yang masing-masing memberikan sambutan. Sedangkan
dalam jajaran PBNU dihadiri langsung oleh Rais Amm (KH Wahab Hasbullah), Ketua
Umum Partai NU (KH Dachlan), Ketua Umum PB LP Ma‘arif NU (KH Syukri Ghazali).
Adapun
pidato
kenegaraan Bung Karno disiarkan langsung oleh RRI dan berbagai macam media
massa.
5.
Pada pada tanggal 1-4 Januari 1957 di Pekalongan dilaksanakan Konggres II IPNU
dan terpilih sebagai ketua Umum M. Tolchah Mansyur, dan kebijakan yang
dihasilkan antara lain; 1) Pembentukan wilayah-wilayah; 2) Mengkaji keterkaitan
dengan lembaga Pendidikan Ma‘arif; 3) Berpartisipasi dalam pembelaan negara; 4)
Mempersiapkan berdirinya departemen kemahasiswaan.
6.
Konggres III IPNU dilaksanakan pada tgl. 27-31 Desember 1958, terpilih sebagai
ketua Umum adalah M. Tolchah Mansyur, dan kebijakan yang dihasilkan yaitu: 1)
Mendirikan Departemen Perguruan Tinggi; 2) Mempersiapkan pembentukan
cabang-cabang; 3) Berpartisipasi dalam pertahanan negara; 4) Mempersiapkan CBP
(Corp Brigade Pembangunan).
7.
Dilaksanakan sebuah kegaiatan yang bertajuk Konferensi Besar I pada tanggal 17
April 1960 di Surabaya yang akhirnya mendeklarasikan berdirinya PMII yang
awalnya merupakan departemen kemahasiswaan IPNU, juga merumuskan tentang
kondisi negara sebagai rasa sikap tanggungjawab IPNU-IPPNU sebagai generasi
penerus.
8.
Konggres IV IPNU dilaksanakan pada tanggal 11-14 Pebruari 1961 di Surabaya,
terpilih lagi sebagai Ketua Umum M. Tolchah Mansyur, akan tetapi mengundurkan
diri dan akhirnya digantikan Ismail Makky dan kebijakan yang dihasilkan antara
lain: 1) Mempersiapkan pembentukan cabang-cabang; 2)
Berpartisipasi
dalam pertahanan negara, 3) Mempersiapkan pembentukan CBP (Corp Brigade
Pembangunan).
9.
Konggres V IPNU dilaksanakan pada bulan Juli 1963 di Purwokerto, terpilih lagi
sebagai Ketua Umum Ismail Makky dan kebijakan yang dihasilkan yaitu: 1)
Merekomendasikan KH. Hasyim As‘ari untuk diangkat sebagai pahlawan Nasional; 2)
Mempersiapkan pembentukan cabang-cabang; 3) Berpartisipasi dalam pertahanan
negara; 4) Mempersiapkan pembentukan CBP (Corp Brigade Pembangunan).
10.
Konggres VI IPNU di Surabaya dilaksanakan pada 20-24 Agustus 1966 bersaman
dengan PORSENI Nasional, terpilih sebagai ketua Umum Asnawi Latif dan kebijakan
yang dihasilkan yaitu:
1) Lahirnya IPNU sebagai Badan Otonom NU;
2) Memindahkan sekretariat Pusat dari Yogyakarta ke
Jakarta;
3) Ikut langsung dalam pembersihan G30S/PKI di
daerah-daerah;
4) Perkembangan politik praktis memaksa NU dan
banomnya terseret
untuk berkiprah;
5) Perkembangan pesat pada olah raga dan seni
11.
Pada tanggal 20-24 Agustus 1976 di Jakarta dilaksanakan Konggres VIII IPNU,
terpilih sebagai Ketua Umum Tosari Wijaya dan kebijakan yang dihasilkan antara
lain: 1) Mengamanatkan pendirian departemen kemahasiswaan; 2) Kiprah IPNU
didunia politik mempunyai dampak negatif dan menghambat program pembinaan
khususnya dilingkungan
sekolah
dan kampus serta masyarakat bawah. Meskipun disisi lain memperoleh keuntungan.
12.
Konggres IX IPNU dilaksanakan pada tahun 1981 di Cirebon, terpilih sebagai
Ketua Umum Ahsin Zaidi dan Sekjen S. Abdurrahman sedang kebijakan yang
dihasilkan yaitu: Perkembangan IPNU nampak menurun sebagaimana perkembangan
politik negara, dan NU sebagai partai politik (PPP) berimbas pada IPNU, setelah
itu UU no. 3 tahu 1985 tentang UU ORSOSPOL dan UU. 8 tahun 1985 tentang
Keormasan yang mengharuskan IPNU hengkang dari Sekolahan/
13.
Konggres X IPNU dilaksanakan pada tgl.29-30 Januari 1988 di Jombang, terpilih
sebagai Ketua Umum Zainut Tauhid Sa‘ady dan kebijakan yang dihasilkan antara
lain: 1) Penerimaan Pancasila sebagai asas IPNU; 2) Lahirnya deklarasi
perubahan nama dari Pelajar menjadi Putra NU.
14.
Konggres XI IPNU dilaksanakan pada tgl.23-27 Desember 1991 di Lasem Rembang,
terpilih sebagai Ketua Umum Zainut Tauhid Sa‘ady dan kebijakan yang dihasilkan
antara lain: 1) Rekomendasi pada pemerintah untuk pembubaran SDSB; 2) Pelaksaan
kegiatan IPNU tanpa keterikatan dengan IPPNU; 3) Pelaksanaan kegiatan harus
diteruskan pada struktur hingga kebawah
15.
Konggres XIII IPNU dilaksanakan pada tgl.23-26 Maret 2000 di Maros Makassar,
Sulawesi Selatan, terpilih sebagai Ketua Umum Abdullah Azwar Anas dan kebijakan
yang dihasilkan antara lain: 1)
Mengembalikan
IPNU pada visi kepelajaran, sebagaimana tujuan awal pendiriannya; 2) Menumbuh
kembangkan IPNU pada basis perjuangan, yaitu sekolah dan pondok pesantren; 3)
Mengembalikan CBP sebagai kelompok kedisplinan, kepanduan serta
kepencinta-alaman.